Buku Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong merupakan karya monumental yang menelusuri perjalanan gagasan tentang Tuhan dalam tiga agama besar monoteistik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Armstrong, seorang mantan biarawati Katolik dan penulis sejarah agama terkemuka, menulis dengan pendekatan yang komprehensif dan lintas agama, menjadikan buku ini sebagai referensi penting bagi pembaca yang ingin memahami evolusi konsep ketuhanan dalam sejarah umat manusia.
Armstrong memulai dengan menelusuri akar sejarah dari konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi, dimulai dari kisah Abraham dan transisi dari politeisme bangsa Semit menuju monoteisme. Ia menunjukkan bagaimana bangsa Israel mulai memahami Tuhan sebagai entitas personal yang memihak mereka dalam sejarah dan politik, serta menegaskan pentingnya ikatan perjanjian antara Tuhan dan umat-Nya.
Dalam Kekristenan, Armstrong menjelaskan bahwa konsep Tuhan mengalami transformasi besar. Yesus, yang pada awalnya dilihat sebagai nabi Yahudi, kemudian dipahami sebagai Anak Tuhan. Teologi Kristen kemudian berkembang pesat melalui pengaruh filsafat Yunani, terutama melalui karya para Bapa Gereja seperti Agustinus dan Thomas Aquinas. Perpaduan antara iman dan rasio menjadi ciri khas perkembangan Kristen awal.
Islam, menurut Armstrong, membawa semangat reformasi monoteistik yang kuat melalui wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Konsep tauhid (keesaan Tuhan) menjadi inti ajaran Islam. Ia juga menyoroti bagaimana para pemikir Islam klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali berusaha merumuskan Tuhan dalam kerangka filsafat dan teologi yang logis namun tetap spiritual.
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah keberanian Armstrong mengkaji peran filsafat dalam agama. Ia menjelaskan bahwa upaya memahami Tuhan secara rasional dilakukan oleh para pemikir dari ketiga agama tersebut, walau sering kali terjadi perdebatan tajam antara teolog dan filsuf. Misalnya, dalam Islam, terjadi pertentangan antara pemikir rasionalis (mu’tazilah) dan kelompok tradisionalis.
Selain itu, Armstrong memberikan perhatian besar pada perkembangan mistisisme, yang menurutnya menjadi reaksi terhadap kekakuan teologi rasional. Ia mengulas sufisme dalam Islam, mistik Yahudi dalam Kabbalah, dan spiritualitas kontemplatif dalam Kristen. Menurut Armstrong, pendekatan mistik lebih mengedepankan pengalaman personal dengan Tuhan daripada dogma teologis.
Armstrong tidak hanya mengulas sejarah gagasan Tuhan, tetapi juga mengaitkannya dengan konteks sosial-politik yang melatarbelakanginya. Ia menunjukkan bagaimana perkembangan ide tentang Tuhan sering kali dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat akan stabilitas, identitas, atau bahkan kekuasaan. Dalam konteks ini, agama bukan hanya fenomena spiritual, tetapi juga produk sosial dan historis.
Dalam bab-bab selanjutnya, Armstrong mengkaji munculnya ateisme modern yang berkembang sejak era Pencerahan di Eropa. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat sekular, kepercayaan terhadap Tuhan mulai dipertanyakan. Ia mengutip tokoh-tokoh seperti Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud, yang masing-masing memberikan kritik terhadap agama sebagai proyeksi manusia belaka.
Armstrong tidak membela atau menolak ateisme, tetapi berusaha memahaminya sebagai bagian dari perjalanan intelektual umat manusia. Ia menekankan bahwa krisis iman di Barat tidak semata-mata karena kemajuan ilmu, tetapi juga akibat dari kegagalan institusi agama dalam menjawab tantangan moral dan sosial, seperti perang, ketimpangan, dan dogmatisme.
Di era modern ini, Armstrong mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali konsep Tuhan yang tidak hanya sebagai penguasa alam semesta, tetapi juga sebagai simbol kasih, keadilan, dan pencarian makna. Ia menekankan bahwa pemahaman terhadap Tuhan harus berkembang mengikuti kesadaran spiritual dan intelektual umat manusia yang terus berubah.
Gaya penulisan Armstrong cenderung naratif-analitis, menggabungkan data sejarah dengan refleksi teologis yang mendalam. Ia juga berusaha bersikap objektif terhadap masing-masing tradisi keagamaan, tanpa mendewakan satu di atas yang lain. Hal ini menjadikan bukunya sangat relevan bagi pembaca lintas iman.
Bagi pembaca Indonesia, buku ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Tantangan karena isinya menuntut ketekunan dan keterbukaan berpikir; peluang karena bisa memperluas cakrawala pemahaman kita terhadap agama sebagai produk sejarah yang kompleks dan dinamis. Versi terjemahan yang diterbitkan oleh Mizan membantu pembaca non-Inggris untuk mengakses ide-ide Armstrong dengan lebih mudah.
Salah satu keunikan buku ini adalah keberanian Armstrong mengangkat sisi-sisi problematik dalam sejarah agama, seperti konflik antarmazhab, perpecahan dalam tubuh agama, serta penggunaan nama Tuhan untuk kepentingan kekuasaan. Namun ia juga menyoroti sisi humanis dari pengalaman religius yang sering kali dilupakan oleh narasi dogmatis.
Secara keseluruhan, Sejarah Tuhan bukanlah buku yang menawarkan jawaban mutlak tentang siapa Tuhan, tetapi lebih sebagai undangan untuk berdialog, bertanya, dan merenung. Ia mengajak pembaca melihat bahwa perjalanan memahami Tuhan adalah juga perjalanan memahami diri sendiri dan dunia.
Karen Armstrong berhasil merangkum ribuan tahun sejarah dalam satu buku yang padat, mendalam, dan menggugah. Sejarah Tuhan adalah karya yang menginspirasi kita untuk tidak hanya mengenal Tuhan lewat teks-teks suci, tetapi juga melalui perjalanan intelektual dan spiritual umat manusia sepanjang zaman.